Ad Code

Responsive Advertisement

Makalah Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf (dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian (Misbahuddin,2014:129).
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B.     Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1.            Bagaimana pengertian ijtihad?
2.            Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3.            Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4.            Bagaimana objek ijtihad?
5.            Bagaimana macam-macam ijtihad?
6.            Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?


C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.            Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.            Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3.            Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4.            Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5.            Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6.            Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.[1]
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni”. Dengan demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal Alqur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis dari dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah ra’yu (rasionalitas). Istilah ra’yu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah ra’yu tidak bisa dipisahkan dari kata ‘aql. Al-Qur’an sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam menetapkan hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a.       Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
c.       Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.
d.      Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
B.     Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Effendi (2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :
1.      Q.S An-Nisa ayat 59 :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa’/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah  untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’ seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2.      Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)
Menurut Syafe’i (2010,107-108), bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
1.            Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
2.            Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3.            Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4.            Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5.            Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
C.    Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-qur’an maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad padanya(Djalil,2010 :186).
            Bila dilihat  dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
            Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl  ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a.       Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b.      Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala”(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafi’ira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya (Effendi, 2005: 250).
D.    Objek Kajian Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) dating dari Allah atau Rasul-Nya, seperti al-Qur’an dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapanga ijtihad dari segi periwatannya. Al-Qur’an yang beredar dikalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (gqth’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir adalah pasti (qth’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik al-Qur’an atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan (Effendi, 2005: 250).
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut penulis, ijtihad juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni, maupun belum ada nashnya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau istihsan atau pemakain ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya (Shuhufi,2012:16).
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-Qur’an da Synnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah (Effendi, 2005: 250).
Menurut Effendi (2005,250-251), hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dapat dikategorikan menjadi tiga macam :
1.            Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2.            Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau hadis yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
3.            Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad al-zari’ah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.
E.     Macam-Macam Ijtihad
Menurut Shiddieqy ( 1999,192-193), ijtihad ada beberapa macam, yaitu :
1.            Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita.
2.            Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi.
3.            Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal (Syafe’i,2010:103-104).
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dsarnya atau tidak(Syafe’i,2010:104).
Menurut Syafe’i (2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1.            Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2.            Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3.            Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Menurut Syafe’i (2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1.            Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2.            Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.
F.     Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya
1.      Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Effendi (2005,251), Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu :
a.       Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal di luar kepala dan tidak perlu menghafal seluruh al-Qur’an. Seorag mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu oleh sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H) umpamanya menyebutkan bahwa ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bisa jadi berlipat ganda dari jumlah yang disebutka al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan mungkin meng-istinbatkan hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud adalah ayat-ayat yang dengan langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum termasuk ke dalamnya ayat-ayat yang tidak langsung.
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin didapatkannya karena bakat atau karena tumbuh dikalangan masyarakat yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat secara syara’  ialah dengan mengetahui berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti melalui mantuq (makna tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat), atau mafhum mukhalafah (makna kebalikan dari makna tersurat), serta mengetahui pembagian lafal dari segi cakupannya, seperti lafal umum dan lafal khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping itu, juga mengetahui tentang ‘illat atau alasan logis mengapa sesuatu diperintah dan mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
b.      Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti halnya al-Qur’an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yag berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat di jangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu al-Arabi (w.543H), ahli tafsir dari kalangan  Malikiyah, seperti dinukil Wahbah az-Zuhaili, jumlah hadis-hadis hukumsekitar 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadis-hadis hukum sekitar 1200 hadis. Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat dengan dengan pembatasan jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi seorang mujtahid mengerti dengan seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis besar yang sudah diakui, seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui, disamping pengertiannya secara bahasa dan secara syara’, juga mengetahui kesahihannya.
c.       Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
d.      Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
e.       Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat Islam.
f.       Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan Suunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan bisa meng-istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya. Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekadarmampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab dan kebiasaan orag Arab dalam pemakaiannya.
g.      Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h.      Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-Syari’ah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Di samping itu, dan yang terpenting, denga penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah.
2.      Tingkatan – Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lad\gi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad”. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda(Syafe’i,2010 :108).
Menurut Syafe’I (2010,108-109), tingkatan mujtahid menurut para ulama, diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan, yaitu :
a.       Mujtahid Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b.      Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqi namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak  dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
c.       Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
d.      Mujtahid tarjih,  adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e.       Mujtahid fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
2.      Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
3.      Pernyataan Imam Syafi’I mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-Qur’an dapat digali dengan ijtihad menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.
5.      Syarat-syarat Mujtahid, yaitu : (1)Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. (2)Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’. (3)Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. (4)Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.(5) Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas. (6) Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. (7) Menguasai ilmu Ushul Fiqh. (8) Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
6.      Tingkatan-tingkatan Mujtahid, yaitu Mujtahid Mustaqi, Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij, Mujtahid tarjih, Mujtahid fatwa.


[1]Dr. Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul Fiqh II, Alauddin University Press  (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan Setiawan, Penghijauan dengan Tanaman Potensial, Penebar Swadaya, Depok,  2002, hlm. 14.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu